Teman Surga
Penulis :
Ilaysiara
Chat Uti lagi-lagi muncul diurutan cpaling atas pada layar ponsel,
saat aku membuka aplikasi WhatssApp.
Terkadang terbetik rasa
ingin mengubah setelan kontak tersebut
menjadi mute,
agar tidak lagi terganggu olehnya. Syukurnya aku masih memiliki hati nurani
yang tidak tega membuat Uti benar-benar menunggu laporan dariku dan mengabaikan
teman baikku itu, aku masih belum sanggup.
Ibu jariku memang tidak menekan lama
kontak itu untuk diberikan tanda mute, tapi tidak juga membukanya. Setelah men-scroll, Chat dari salah satu temanku, menarik perhatian.
Dia mengatakan untuk segera
membuka Instagram karena ada berita viral tentang artis A disana. Aku langsung
membuka aplikasi yang dikatakannya dan menelusuri explore disana. Banyak hal menarik seperti biasa, sampai akhirnya
aku mendapatkan berita tentang artis A yang tadi dikatakan temanku setelah
hampir setengah jam berselancar disana. Kemudian Aku membicarakan hal yang
tidak terlalu penting itu sekitar
40 menit kami asyik
mengobrol melalui personal chat, aku menilik jam dinding, langsung terduduk dikejutkan oleh waktu.
Aku belum melakukan apa-apa selama bangun tidur dan sekarang sudah pukul 11.00 WIB?
Berniat untuk sholat dhuha, aku
menyisingkan lengan baju. Notifikasi masuk ke ponselku. Aku mengabaikannya.
Kemudian beberapa notifikasi yang sama berbunyi membuatku benar-benar penasaran
siapa yang mengirim chat tersebut.
Grup SMP ku ternyata
sedang ramai, mereka mengirim kenangan masa
lalu. Saat asyik menggeser foto-foto yang
dikirim teman SMP, layar gawaiku
berubah pada tampilan telepon masuk. Aku langsung mengangkatnya.
“Halo, Assalamu’alaikum Mah,”
“Wa’alaikumussalam. Syif, Mama bakal
terlambat pulang, kamu tolong masak untuk
makan siang ya?”
Aku
melihat jam dinding sekali lagi,
kemudian panik. Sudah jam 12 kurang Ya Allah,
aku telah lalai
dalam segala hal.
“Halo, nak?”
“Ha? Oh iya Ma, nanti Syifa masak.
Keadaan nenek gimana Mah?”
“Alhamdulillah
makin baik, kok sayang,” jawab Mama. “Yaudah mama tutup ya, Assalamu’alaikum.”
Setelah
menjawab salam, aku segera meloncat
dari tempat tidur lalu
mengambil wudhu. Sholat dhuha 4 raka’at, lalu berdoa agar
sholatku diterima. Usai melipat mukena,
kukeluarkan nasi dari rice cooker,
lalu menggantinya dengan dua bambu beras. Dilanjutkan memasak nasi, memasak
air, dan menyapu lantai serta membuang sampah. Azan terdengar saat aku kembali
dari membuang sampah di luar.
“Alhamdulillah,” ucapku karena masih
diberi izin untuk mendengar suara azan.
“Astaghfirullah,” sambungku mengingat fatalnya
kelalaianku hari ini. Dhuha tadi saja aku ragu pada batas waktu yang masih bisa sholat atau
tidak, karena 25 menit setelahnya waktu dzuhur tiba.
Benar, diri ini sudah terlalu futur
sebenarnya. Lupa akan nikmat melimpah yang Allah berikan. Kesehatan, keluarga,
dan lain sebagainya.
Tak ada yang kurang di berikan Allah selain yang kita butuhkan, tapi upaya
dalam bersyukur...
diri ini sungguh jauh dari kata cukup. Jika saat keadaan masih normal seperti 7
bulan yang lalu, teman-temanku akan mengajak ke masjid untuk melaksanakan Dhuha sesibuk
apapun saat itu. Sekarang,
setelah bangun tidur, hal yang pertama kali kucari adalah gawai. Mengecek apakah ada
chat penting dari kelas atau tidak. Setelahnya, entah kenapa selalu saja
beralih pada aplikasi lain yang membuatku betah di bawah selimut selama
beberapa jam.
Bukan salah Uti kalau aku malas
membuka Chat darinya. Tapi salahku. Aku menghindari kewajiban dakwah yang
awalnya sudah ku ikrarkan
untuk memperjuangkannya. Kewajiban yang awalnya, gairah semangat untuk aku lakukan sebelum
pandemi menyerang bumi Allah ini,
selama hampir satu tahun. Banyak waktu
terbuang sia-sia selama pandemi. Padahal banyak hal bermanfaat yang bisa
dilakukan seperti membaca buku, memikirkan bagaimana media sosial ku bisa
bermanfaat dengan konten penyemangat, atau mengulang pelajaran kuliah yang tadi siang
diberikan. Semua itu memang terpikirkan, tapi tidak terealisasikan. Rasanya
berada di atas ranjang seharian pun
tidak masalah, berpikir kalau aku bisa
mengerjakan segala hal penting
esok harinya.
Chat dari Uti tidak langsung ku balas. Selain meminta
untuk mengirim laporan ibadah yang biasa ku kirim, dia mengirim
kata-kata yang membuatku merasa bersalah sekaligus bersyukur.
“Assalamu’alaikum Syifa, apakabar?”
Beberapa hari ini, Uti merasa Syifa menghindari Uti, karena chat balasan Syifa yang Uti
terima sampe setelah berjam-jam.
Semoga Syifa dan keluarga sehat-sehat ya,
Tahu tidak? Uti sedih karena semangat Syifa gak kayak dulu lagi, waktu kita sama-sama bicarain masalah dakwah di kampus. Uti paham,
karena pandemi ini semangat orang yang udah berdakwah bertahun-tahun pun
bisa luntur karena sendirian. Tanpa ada pengingat yang membersamainya, yaitu teman yang sevisi.”
Air
mataku mulai jatuh. Chat Uti masih berlanjut. Ia mengingatkanku sholat dan
bagaimana caranya
agar bisa menjalani hari dengan efektif, berpahala dan tidak sia-sia.
Selesai
membacanya, jariku langsung mengetik apa-apa yang harus aku isi. Tidak mengaji
selesai Dzuhur, tidak sholat qobliyah, dan terlambat sholat Isya. Aku mengucap
hamdalah, berterimakasih karena ada teman yang bisa meningkatkan imanku disaat
memang lagi kubutuhkan. Aku beralih ke Youtube, menyusuri video dakwah yang
kurasa cocok untuk meningkatkan imanku
lagi. Sesekali aku menangis mendengar ceramah dari sang pendakwah ulung sambil
mengingat
dosa dan betapa abainya aku ketika adzan berkumandang. Padahal tontonanku atau
kegiatan yang kulakukan bisa ditunda dan dilanjutkan setelah sholat.
Salah
satu hadist
tentang bagaimana sosok seorang teman akan memengaruhi iman temannya, terlintas di benakku.
Aku bertekad untuk tidak lagi mengecewakan
teman seperti Uti. Aku akan mempertahankannya agar bisa saling memanggil
untuk ke surga nanti.
“Seseorang
tergantung agama teman dekatnya, maka hendaknya kalian memerhatikan siapakah
teman dekatnya.”
(HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar