Sumber ilustrasi : google
Penulis : Rinda Putri A.D | Editor : Resi Triana Sari
Rokok bukanlah hal yang asing lagi bagi masyarakat
Indonesia, bahkan pesonanya telah terkenal di berbagai kalangan. Jumlah perokok
di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Laporan Southeast Asia Tobacco Control
Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region
menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta
orang. Angka tersebut setara 34% dari total penduduk Indonesia pada 2016.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area
yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,
menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau. Oleh karena itu
semua tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR harus bebas dari asap rokok,
penjualan, produksi, promosi dan sponsor rokok.
Pemerintah melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dan PP No. 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan telah mewajibkan pemerintah
daerah untuk menetapkan KTR di wilayahnya masing-masing, melalui Peraturan Daerah atau peraturan
perundang-undangan daerah lainnya. KTR ini meliputi : fasilitas pelayanan
kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah,
angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang telah ditetapkan.
Menurut
dinas kesehatan, ada 9 indikator kepatuhan dalam
monitoring evaluasi KTR, yakni:
- Tidak tercium asap rokok
- Tidak terdapat orang merokok
- Tidak terdapat asbak/korek
api/pemantik
- Tidak ditemukan puntung rokok
- Tidak terdapat ruang khusus
merokok
- Terdapat tanda larangan merokok
- Tidak ditemukan adanya indikasi
merek rokok atau sponsor, promosi dan iklan rokok di area KTR
- Tidak ditemukan penjualan rokok
(pada sarana kesehatan, sarana belajar, sarana anak, sarana ibadah, kantor
pemerintah dan swasta serta sarana olahraga kecuali: pasar modern/mall,
hotel, restauran, tempat hiburan dan pasar tradisional)
- Penjualan rokok tidak di-display (dipajang)
Perguruan tinggi merupakan tempat pendidikan
paling tinggi bagi generasi muda, di sini diharapkan banyak lahir generasi muda
cemerlang yang membangun bangsa. Mahasiswa diharapkan untuk ikut menerapkan
Kawasan Tanpa Rokok (KTR), bukan malah menjadi pengguna rokok aktif. Perguruan Tinggi menjadi
sasaran utama industri rokok, sehingga jika insan kampus banyak yang merokok, hal itu bisa menjadi sarana promosi gratis bagi industri rokok. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu menginisiasi dalam menciptakan gerakan untuk mengendalikan
konsumsi rokok.
Menurut
Prof. Edy, ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), perguruan
tinggi jangan hanya menjadi institusi yang pasif dalam menghadapi masalah
rokok, hal ini dikarenakan perilaku merokok saat ini justru semakin menjadi hal
yang dapat dengan mudah ditemukan diberbagai tempat, bahkan di dalam lingkungan
kampus yang menjadi tempat belajar mengajar sekalipun. Sangat mudah kita temukan orang yang merokok di
lingkungan kampus, mulai dari dosen, pegawai, dan khususnya mahasiswa.
Mahasiswa yang menjadi sivitas kampus terbesar tentunya juga dapat menjadi penyumbang perokok aktif terbesar di
dalam kampus jika dibandingkan dengan sivitas kampus lainnya. Sungguh
disayangkan, mahasiswa yang seharusnya berperan sebagai Iron
stock, tunas bangsa ini ternyata sudah layu oleh rokok. Agent
of change yang kebal akan rokok dan Guardian of value yang kehilangan
nilai sehat untuk dijaga.
Untuk itu, perlu diberlakukan kebijakan di
masing-masing perguruan tinggi untuk mengatasi masalah rokok tersebut.
Kebijakan yang dimaksud adalah Kampus Tanpa Rokok (KTR). Kampus Tanpa Rokok
(KTR) adalah larangan untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi,
menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau di lingkungan
kampus, namun saat ini Kampus Tanpa Rokok (KTR) belum dilaksanakan di semua
perguruan tinggi di Indonesia, bahkan perguruan tinggi yang menerapkan aturan
larangan merokok di lingkungan kampus, hanya Universitas Indonesia, Jakarta.
Universitas Indonesia telah menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan
Universitas Indonesia berdasarkan Keputusan Rektor Nomor
1805/SK/R/UI/2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok
Salah satu alasan belum diberlakukannya kebijakan
KTR di lingkungan kampus adalah perusahaan-perusahaan rokok yang memberikan
kontribusi yang besar bagi dunia pendidikan, khususnya di tingkat perguruan
tinggi, yaitu dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi,
ataupun mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi. Jika dilihat secara
mendalam, alasan tersebut bukanlah alasan yang kuat untuk melandasi tidak diberlakukannya
KTR dikarenakan beasiswa-beasiswa tersebut bisa didapatkan dari
perusahaan-perusahaan lain. Selain itu, terdapat banyak sekali
beasiswa-beasiswa di luar dari kontribusi perusahaan rokok, baik beasiswa dari
Pemerintah RI maupun pihak swasta yang dapat digunakan.
Alasan lain
adalah dikhawatirkan adanya protes dari sivitas kampus yang kontra terhadap KTR
yang akan mengganggu kegiatan-kegiatan di dalam kampus itu sendiri. Hal ini
juga tidak dapat dijadikan alasan yang dapat mendasari dikarenakan rokok akan
lebih mengganggu kegiatan-kegiatan kampus dan jika kebijakan itu dilaksanakan
secara tegas maka pihak yang kontra terhadap KTR lama-kelamaan akan menerima
kebijakan tersebut, tentunya tidak serta-merta diterima, melainkan dengan
proses dan pendekatan-pendekatan persuasif. Dan sebenarnya, jika ditelisik
lebih dalam kebijakan kampus tanpa rokok memiliki banyak dampak positif yang
tentunya berpengaruh pada masing-masing perguruan tinggi itu sendiri. Beberapa
dampak positif tersebut diantaranya : perguruan tinggi mewujudkan mahasiswa
menjadi generasi muda yang sehat dan cerdas, menurunkan jumlah perokok dan
mencegah timbulnya perokok pemula, meningkatkan produktivitas kerja dan
pelayanan umum yang optimal, serta mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih
di lingkungan kampus.
Ayo, ciptakan kampus tanpa rokok!.