Senin, 30 Maret 2020

Kampus Tanpa Rokok



Sumber ilustrasi : google

KAMPUS TANPA ROKOK
Penulis : Rinda Putri A.D  |  Editor : Resi Triana Sari

Rokok bukanlah hal yang asing lagi bagi masyarakat Indonesia, bahkan pesonanya telah terkenal di berbagai kalangan. Jumlah perokok di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asean, yakni 65,19 juta orang. Angka tersebut setara 34% dari total penduduk Indonesia pada 2016.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan/atau mempromosikan produk tembakau. Oleh karena itu semua tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR harus bebas dari asap rokok, penjualan, produksi, promosi dan sponsor rokok.
Pemerintah melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan PP No. 109 tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan telah mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan KTR di wilayahnya masing-masing, melalui Peraturan Daerah atau peraturan perundang-undangan daerah lainnya. KTR ini meliputi : fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang telah ditetapkan.

Menurut dinas kesehatan, ada 9 indikator kepatuhan dalam monitoring evaluasi KTR, yakni:

  1. Tidak tercium asap rokok
  2. Tidak terdapat orang merokok
  3. Tidak terdapat asbak/korek api/pemantik
  4. Tidak ditemukan puntung rokok
  5. Tidak terdapat ruang khusus merokok
  6. Terdapat tanda larangan merokok
  7. Tidak ditemukan adanya indikasi merek rokok atau sponsor, promosi dan iklan rokok di area KTR
  8. Tidak ditemukan penjualan rokok (pada sarana kesehatan, sarana belajar, sarana anak, sarana ibadah, kantor pemerintah dan swasta serta sarana olahraga kecuali: pasar modern/mall, hotel, restauran, tempat hiburan dan pasar tradisional)
  9. Penjualan rokok tidak di-display (dipajang) 
Perguruan tinggi merupakan tempat pendidikan paling tinggi bagi generasi muda, di sini diharapkan banyak lahir generasi muda cemerlang yang membangun bangsa. Mahasiswa diharapkan untuk ikut menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), bukan malah menjadi pengguna rokok aktif. Perguruan Tinggi menjadi sasaran utama industri rokok, sehingga jika insan kampus banyak yang merokok, hal itu bisa menjadi sarana promosi gratis bagi industri rokok. Oleh karena itu, perguruan tinggi perlu menginisiasi dalam menciptakan gerakan untuk mengendalikan konsumsi rokok.
 Menurut Prof. Edy, ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), perguruan tinggi jangan hanya menjadi institusi yang pasif dalam menghadapi masalah rokok, hal ini dikarenakan perilaku merokok saat ini justru semakin menjadi hal yang dapat dengan mudah ditemukan diberbagai tempat, bahkan di dalam lingkungan kampus yang menjadi tempat belajar mengajar sekalipun. Sangat mudah kita temukan orang yang merokok di lingkungan kampus, mulai dari dosen, pegawai, dan khususnya mahasiswa. Mahasiswa yang menjadi sivitas kampus terbesar tentunya juga dapat menjadi penyumbang perokok aktif terbesar di dalam kampus jika dibandingkan dengan sivitas kampus lainnya. Sungguh disayangkan, mahasiswa  yang seharusnya berperan sebagai Iron stock, tunas bangsa ini ternyata sudah layu oleh rokok. Agent of change yang kebal akan rokok dan Guardian of value yang ke­hilangan nilai sehat untuk dijaga.
Untuk itu, perlu diberlakukan kebijakan di masing-masing perguruan tinggi untuk mengatasi masalah rokok tersebut. Kebijakan yang dimaksud adalah Kampus Tanpa Rokok (KTR). Kampus Tanpa Rokok (KTR) adalah larangan untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau di lingkungan kampus, namun saat ini Kampus Tanpa Rokok (KTR) belum dilaksanakan di semua perguruan tinggi di Indonesia, bahkan perguruan tinggi yang menerapkan aturan larangan merokok di lingkungan kampus, hanya Universitas Indonesia, Jakarta. Universitas Indonesia telah menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan Universitas Indonesia berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 1805/SK/R/UI/2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok 
Salah satu alasan belum diberlakukannya kebijakan KTR di lingkungan kampus adalah perusahaan-perusahaan rokok yang memberikan kontribusi yang besar bagi dunia pendidikan, khususnya di tingkat perguruan tinggi, yaitu dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi, ataupun mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi. Jika dilihat secara mendalam, alasan tersebut bukanlah alasan yang kuat untuk melandasi tidak diberlakukannya KTR dikarenakan beasiswa-beasiswa tersebut bisa didapatkan dari perusahaan-perusahaan lain. Selain itu, terdapat banyak sekali beasiswa-beasiswa di luar dari kontribusi perusahaan rokok, baik beasiswa dari Pemerintah RI maupun pihak swasta yang dapat digunakan.
 Alasan lain adalah dikhawatirkan adanya protes dari sivitas kampus yang kontra terhadap KTR yang akan mengganggu kegiatan-kegiatan di dalam kampus itu sendiri. Hal ini juga tidak dapat dijadikan alasan yang dapat mendasari dikarenakan rokok akan lebih mengganggu kegiatan-kegiatan kampus dan jika kebijakan itu dilaksanakan secara tegas maka pihak yang kontra terhadap KTR lama-kelamaan akan menerima kebijakan tersebut, tentunya tidak serta-merta diterima, melainkan dengan proses dan pendekatan-pendekatan persuasif. Dan sebenarnya, jika ditelisik lebih dalam kebijakan kampus tanpa rokok memiliki banyak dampak positif yang tentunya berpengaruh pada masing-masing perguruan tinggi itu sendiri. Beberapa dampak positif tersebut diantaranya : perguruan tinggi mewujudkan mahasiswa menjadi generasi muda yang sehat dan cerdas, menurunkan jumlah perokok dan mencegah timbulnya perokok pemula, meningkatkan produktivitas kerja dan pelayanan umum yang optimal, serta mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih di lingkungan kampus.
Ayo, ciptakan kampus tanpa rokok!.


Sabtu, 07 Maret 2020

Rencana Cukai Untuk Si Manis

Sumber ilustrasi : shutterstock

Rencana Cukai Untuk Si Manis
Penulis : Annissa Kamila Mardhiyyah | Editor : Resi Triana Sari
           
          Merebaknya minuman manis di Indonesia seperti teh kemasan, minuman berkarbonasi, energy drink, kopi, konsentrat dan lainnya bisa saja memicu tingginya keluhan kesehatan seperti obesitas, diabetes melitus tipe II, keluhan fungsi ginjal dan jantung. Minuman manis termasuk kedalam golongan karbohidrat sederhana yang didalam tubuh berperan sebagai penyedia glukosa bagi sel-sel tubuh dan kemudian diubah kembali menjadi energi. Namun apabila mengonsumsinya dengan berlebihan mengakibatkan perubahan menjadi lemak dan mengakibatkan berat badan yang berlebih. 
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Circuation menyatakan bawah orang yang mengonsumsi dua atau lebih sugar sweetened beverages atau SSB per hari memiliki resiko 31 persen lebih tinggi tingkat kematian dini akibat penyakit jantung. Studi sebelumnya menyebutkan bahwa terjadi hubungan antara SSB dengan kenaikan berat badan, risiko lebih tinggi dari diabetes melitus tipe 2, penyakit jantung dan stroke, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang Singapura menjadi negara pertama yang melarang iklan minuman kemasan yang memiliki kadar gula yang tinggi untuk melawan penyakit diabetes. Selain itu, Meksiko adalah salah satu negara yang berhasil menerapkan cukai pada minuman yang mengandung pemanis. Dan hal ini berhasil menurunkan konsumsi pada minuman yang mengandung pemanis hingga 12 persen perkapita tiap harinya, meskipun saat ini Meksiko masih menjadi negara dengan nomor urut 5 teratas dari jumlah penderita diabetes.
Minuman yang mengandung pemanis menjadi salah satu target objek cukai yang diusulkan oleh Ibu Sri Mulyani untuk menekan angka diabetes masyarakat di Indonesia. Penetapan tarif di dasarkan pada kandungan gula dan pemanis buatan yang ada pada produk. Sri Mulyani mengusulkan tarif cukai Rp 1.500 per liter untuk produk teh kemasan dan Rp 2.500 per liter untuk minuman berkarbornasi dan minuman lainnya seperti kopi, minuman berenergi, serta minuman yang mengandung konsentrat.
Sejatinya isu cukai pada minuman manis merupakan berita lama yang telah dibahas pada tahun 2011, 2012 dan beberapa tahun terakhir di Indonesia. Sebelumnya perlu ditelisik lebih jauh lagi terkait pemberian cukai pada minuman yang mengandung pemanis, yaitu antara penerimaan atau untuk mengurangi angka kecanduan pada minuman yang mengandung pemanis untuk menurunkan resiko diabetes dan obesitas.
Lalu sebenarnya apasih cukai itu? Merujuk pada official website Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang kena cukai, sedangkan barang kena cukai adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik dimana konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Saat ini ada tiga karakteristik barang yang menjadi objek cukai yang terdiri dari etil alkohol/etanol, minuman yang mengandung etil alkohol dalam kadar berapa pun dan hasil tembakau.
Wacana penambahan cukai ini berhubungan dengan terus bertambahnya jumlah kasus penyakit diabetes melitus di Indonesia, dimana Indonesia menduduki posisi ke-6 dalam International Diabetes Federation (IDF) pada 2017 dan data ini diperkirakan akan terus bertambah. Hal ini bukanlah sebuah kabar bahagia yang harus disyukuri oleh masyarakat Indonesia, namun, produk pangan olahan hanya berkontribusi sekitar 30 persen dari konsumsi masyarakat. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengemukakan perlunya edukasi masyarakat yang tepat, bagaimana masyarakat mampu mengatur makanan dan pola hidupnya sendiri.
Tindakan ini mampu meningkatkan inflasi apabila cukai minuman yang mengandung pemanis diterapkan di Indonesia sebesar 0,16%, hal ini termasuk dalam angka yang cukup tinggi dibandingkan beberapa sektor rancangan lainnya, yaitu emisi CO2 dan plastik. Sejauh ini, ketika disampaikan kepada DPR soal tarif baru cukai, hanya cukai plastik yang berhasil disetujui oleh DPR, sedangkan yang lainnya, yaitu cukai minuman yang mengandung pemanis dan emisi CO2 masih perlu dibuat road map oleh DPR.
Selayaknya, tarif baru cukai masih dalam proses pengkajian, dibalik dampak negatif yang terjadi. Perlu dipahami kembali inflasi yang akan terjadi serta pelaku usaha yang mungkin saja dapat menghambat laju bisnis di sektor minuman dan tentunya konsumen akan menjadi sasaran yang terkena dampak yang akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan pendapatan pajak ditengah pengumpulan pajak yang lemah.
            Lalu kamu tim yang mana?



Bergeraklah Wahai Pemuda


sumber ilustrasi : goodnewsfromindonesia.id
Bergeraklah Wahai Pemuda
Penulis : Annissa Kamila Mardhiyyah | Editor : Resi Triana Sari

Sejak dahulu, pemuda selalu menjadi garda terdepan dalam pergerakan di Indonesia. Kilas balik sejarah mengantarkan kita pada peran pemuda dalam Rengasdengklok menjadi salah satu bukti tapak tilas pemuda. Peran lain datang dari Sutan Sjahrir yang bergerak sebagai seorang diplomat yang cemerlang dalam menjaga Indonesia dan meyakinkan dunia bahwa Indonesia telah merdeka secara de facto dan de jure. Rekam jejak sumpah pemuda menjadi saksi bahwa pemuda Indonesia hadir sebagai pemersatu tanah air.
  
Merujuk pada catatan historis yang menjadi penguat bahwa pemuda termasuk salah satu katalisator perjuangan yang menambah rasa kepercayaan diri para pemuda hari ini. Kenyataan yang ada, memang banyak pemuda-pemudi yang bergerak dan terus berproses, namun tak jarang sebagian diantaranya bergerak hanya sebagai netizen yang budiman untuk ikut menyuarakan pendapat melalui jejaring sosial, ada yang berkomentar baik dan ada pula yang memancing bunuh diri para korban dan ada pula yang mudah terbawa arus informasi, bingung memilih antara berita benar dan berita bohong. Perbedaan yang sering terjadi, kerap kali menjadi sarana hinaan bagi orang lain, bukan memberikan komentar membangun, namun kerap kali menggunakan bahasa yang menyakiti.

      Semakin lama, cahaya dari masa lampau kian memudar. Memoar tersebut mulai hilang, sejarahnya tetap ada, meski masih tertulis, tapi implementasi dari hikmah yang diberikan perlahan berubah. Bangga akan peran sebagai pemuda justru menuntut kita untuk terus bergerak dalam medan kebaikan. Bila ada yang berkata Indonesia butuh anak muda, agaknya terasa sedikit pongah dan menimbulkan efek samping bagi beberapa insan, subjek yang positif pun mendadak terlihat negatif.

         Memang benar adanya, Indonesia membutuhkan anak muda, tapi sejatinya pemuda lah yang membutuhkan Indonesia. Lahir dari negara ber-flower yang setiap harinya memiliki tugas yang berbeda, kadang mudah namun tak jarang semakin sulit. Amanah sebagai seorang penenang di saat masyarakat tengah kebingungan dengan prahara negeri ini.
  
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no:3289).

           Menebar kebermanfaatan bukanlah hal yang asing, namun dalam implementasinya justru tidak mudah, dibutuhkan konsistensi dan keteguhan hati untuk terus berbagi kebaikan di muka bumi. Kehadiran seseorang haruslah menghadirkan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Jika hari ini kamu terlahir sebagai seseorang yang berkebangsaan Indonesia, maka tebarlah kebermanfaatan di negerimu, jangan termakan memoir masa lalu yang mengakibatkan terjebak dalam bayang-bayang semu yang tak bisa membawa perubahan bagi diri dan bangsa.

       Dalam menebar kebermanfaatan tentunya tidak terbatas pada lokasi geografis, tapi hari ini sebagai manusia pribumi yang banyak mempelajari kondisi masyarakat dan geografis lingkungan, bukankah harusnya jauh lebih mudah bagi kita untuk bergerak maju memberikan kebermanfaatan. Sudah bukan waktunya lagi menjadi manusia yang berbangga diri, dunia sudah terlalu penuh dengan manusia yang bergerak sendiri-sendiri. Ingatlah bahwa dalam membangun peradaban yang berbasis kebermanfaatan dibutuhkan sebuah kolaborasi aktif untuk meningkatkan masyarakatnya. Selagi masih disini, di negeri ini, maka marilah bergerak maju bersama untuk kebaikan negeri ini. Seluruh putra-putri Indonesia harus bergerak dengan tekad yang satu dan bergerak saling mendukung. Tidak mencaci apalagi saling membenci, mari bangkitlah, untuk membangun negeri ini.



Kisah Inspiratif Andre Doloksaribu Mendirikan Rumah Belajar Untuk Anak Pinggiran Sungai

Oleh : saturnusapublisher Gardamedia.org (24/05/2023)    - Masyarakat pinggiran sungai sering kali terlupakan keberadaannya, apalagi biasany...