Bencana
yang menimpa Indonesia tidak kunjung mereda. Akhir 2018, gempa dan tsunami
mengguncang Sulawesi. Maret 2019, banjir dan longsor menimpa kawasan Sentani.
April 2019, banjir besar disertai longsor menimpa Bengkulu. Agustus 2019, gempa
Banten mengakibatkan 1.640 orang terluka. Kini, September 2019, kabut asap menyelimuti
langit Indonesia. Langit kelabu, udara tidak sehat memenuhi paru-paru masyarakat.
Kabut
asap yang saat ini sudah menyinggahi wilayah Sumatera Utara berasal dari kebakaran hutan
dan lahan di wilayah Riau dan Kalimantan. Jumlah titik api akibat kebakaran hutan
dan lahan per 13 Sepember 2019 di Riau sebanyak 44 titik. Asap yang
menyelimuti Kota Pekanbaru dan sejumlah kabupaten lainnya di Riau semakin pekat
dari hari-hari sebelumnya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)
melalui laman resminya www.bmkg.go.id menempatkan kualitas udara Kota Pekanbaru
di level berbahaya. Indeks Pencemaran di Pekanbaru menurut aplikasi Air Visual juga
masuk kategori membahayakan. Siswa sekolah di Riau sudah diliburkan sejak Selasa,
10/9/2019. Bahkan libur sekolah diperpanjang, melihat kabut asap enggan
beranjak dari langit Pekanbaru.
Langit
Kalimantan juga tak kunjung membaik. Beberapa bandara harus membatalkan penerbangannya, karena landasan pacu
didominasi asap tebal. Tidak hanya lalu lintas udara yang terganggu, sektor transportasi
laut juga terkena imbasnya. Kabut asap tebal membuat penglihatan tidak jelas,
sehingga waktu pelayaran sering kali tertunda. Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) mengungkapkan ada sebanyak 643 titik panas yang tersebar di
wilayah Kalimantan. Selain itu, berdasarkan pantauan Indeks Standar Pencemar Udara,
Pontianak pada 17 september berada di angka 222,27 dengan parameter pm10 dan masuk dalam
kategori tidak sehat.
Berdasarkan
data KLHK, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia selama 2019 sudah mencapai
328.722 hektare. Kalimantan Tengah meyumbang 44.769 kebakaran hutan, Kalimantan
Barat kehilangan 25.900 hektare, Kalimantan Selatan 19.940 hektare., beralih ke
Sumatera, Sumatera Selatan kehilangan 11.826 hektare, Jambi 11.022 hektare dan
Riau sebanyak 49.266 hektare. Sejumlah satwa, seperti orang utan kehilangan habitatnya.
Sekitar 3000 sampai 3500 orang utan terancam kehidupannya.
Puluhan
mahasiswa dan masyarakat umum telah turun ke jalan mempertayakan keberadaan pemeritah.
Slogan “Riau Dibakar bukan Terbakar” ramai dibicarakan warga dunia maya maupun
dunia nyata. Pemerintah dianggap gagal menjaga lingkungan hidup dan gagal mengurangi
jumlah titik api di Kalimantan dan Riau selama setahun terakhir. Pada tahun
2018, tercatat ada 3.722 titik api di Indonesia. Sementara pada tahun 2019
jumlah titik api di Indonesia mencapai 6.512 titik. Data ini berdasarkan Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional. Meskipun begitu, Presiden Joko Widodo menyatakan
bahwa kondisi kebakaran lahan dan hutan di Indonesia saat ini masih terkendali.
Beliau juga belum menetapkan kondisi kabut asap ini sebagai bencana nasional.
Langit
kelabu, namun Presiden masih sempat untuk menyetujui revisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang KPK. Hanya butuh waktu 6 hari bagi Jokowi untuk menyetujui
revisi UU KPK ini, padahal diberi waktu hingga 60 hari untuk memikirkan lebih matang.
Sepertinya, Pak Jokowi terburu-buru sekali menyetujui UU ini. Meskipun banyak kalangan
yang mengecam tidak setuju dengan revisi UU KPK, Pak Jokowi tampaknya tidak peduli.
Masyarakat banyak yang mengkritik pemerintah dengan kalimat “Kalimantan dan
Riau terbakar, tapi KPK yang dipadamkan”.
Penulis: Syahrun Nisa