Kamis, 14 September 2017

Ketika Terasa Asing

Sumber: legatiaabogados.com

Tangan kanan ini masih kubiarkan mencoret-coret selembar kertas kosong yang masih terikat dalam sebuah binder. Bentuk coretannya absurd, tidak jelas. Bahkan genggamanku terhadap pena itu terasa berbeda kali ini, tidak seperti biasanya. Ada penekanan yang luar biasa dari setiap pola yang diciptakan oleh gerakan tanganku yang menari-nari di atas kertas tersebut. Kalau boleh, kertas itu akan robek seketika.

Aku masih tertunduk, hening dalam segala emosi yang tertahan. Gumpalan air bening sudah menumpuk di pelupuk mata. Aku berusaha tidak mendengar beliau, tidak mendengar kata-kata dari saudara seiman yang begitu menyakitkan itu. Tapi ia terus saja berkata, mengatakan wanita-wanita bercadar adalah orang-orang munafik, mereka bebas menikmati keindahan orang lain dari sepasang matanya, tapi keindahan wajahnya tidak boleh dinikmati orang lain. Aku begitu kesal mendengarnya. Meski aku tidak mengenakan cadar, tapi aku pikir tidak pantas mengatakan hal seperti itu tanpa didasari ilmu. Lalu, beliau berkata lagi jangan terlalu fanatik terhadap agama. Fanatik? Aku betul-betul tidak habis pikir atas apa yang beliau simpulkan sendiri terhadap agamanya. Tapi, aku tidak melihat reaksi apa pun dari teman-temanku yang lain.

Apa mereka berpikir sama denganku? Memilih untuk menyabarkan hati dan tak dapat berbuat apa-apa untuk mengatakan yang sebenarnya? Atau kata-kata beliau tadi telah diiyakan oleh pikiran mahasiswa-mahasiswanya yang sekarang merasa dibenarkan atas kelakuan, tindakan dan sikap mereka untuk tidak dekat-dekat dengan agamanya sendiri?
Wallahu a’lam.

Coretanku seketika berhenti saat ia mengakhiri kuliahnya. Aku menghela napas. Memasukkan barang-barang dan bergegas keluar kelas. Langit diluar begitu gelap, pertanda hujan akan turun. Mendung yang mengisyaratkan suasana hatiku sekarang. Aku dan teman-temanku berjalan cepat, takut kehujanan. Tapi, pikiranku masih berkecamuk. Aku menjadi pendiam sepanjang perjalanan, tidak seperti biasanya.

Aku tahu aku bukanlah orang yang betul-betul paham tentang agama. Aku tidak terlahir dari keluarga yang religius. Pendidikan yang ku enyam sejak SD hingga SMA pun berlatar belakang sekolah umum. Tidak ada pendidikan agama yang kuterima sebelumnya, hanya pelajaran agama islam di sekolah seminggu sekali. Tapi, sampai sekarang aku masih terus belajar.
Lantas apakah hanya dengan kata-kata tersebut, iman ini bisa goyah?.

Aku teringat perjalanan yang telah kulalui sampai saat ini. Saat pertama kali aku mengikuti mentoring yang diadakan di setiap fakultas seminggu sekali, saat aku memutuskan berhijab dan mulai memahami bahwa menjadi seorang muslim bukan hanya sekadar sholat dan puasa. Saat aku semakin bersemangat menjalani hari-hariku karena aku semakin tahu tujuan hidup, meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Mentoring telah mengubah diriku kearah lebih baik, mengubah cara berpikirku. Sebuah pencerahan diatas kebodohan, ketidaktahuan dan kemaksiatan yang dulu hinggap di diriku. Aku telah belajar mengisi setiap detik dan napasku dengan sebaik-baiknya. Aku telah belajar bersikap dan menyikapi segala persoalan hidup ini. Perkataan beliau tersebut hanya sebagian kecil tantangan yang diterima oleh hamba-hamba yang memutuskan berhijrah.
Bukankah masih banyak lagi nada-nada yang lebih sinis yang menyudutkan kebenaran? Menganggap sebelah mata orang-orang yang mencoba untuk selalu mendekatkan diri pada Sang Khalik? Bukankah islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula?”.
 Dan sekarang aku berada di masa itu. Ketika semua terasa asing. Ketika orang-orang menertawakan kebenaran dan menganggap wajar kemaksiatan.

Sekali lagi aku belajar, hijrahku bukan hanya sekadar tampilan fisik, tapi ruh ini, pikiran, hati seharusnya menyatu untuk berusaha selalu menjadi hamba yang taat. Perlahan senyumku mengembang. Segala kekesalan menguap. Aku sudah punya jawaban atas segala kegundahan ini. Hijrahku di mentoring seharusnya membuatku menjadi bijaksana dalam bertindak dan bersikap. Dan kini aku seperti itu, menyikapinya dengan bijaksana. Beliau hanya manusia yang berada dalam ketidaktahuan, sama sepertiku dulu. Aku hanya dapat berdoa agar Allah segera menyingkirkan pikiran-pikiran salah tersebut dalam dirinya dan agar kelak ia bertobat dan berhijrah.

Di persimpangan lampu merah tidak jauh dari tempat aku dan teman-temanku menunggu angkutan umum, aku melihat seorang anak kecil bernyanyi dengan diiringi ukulele seraya mengharap para penumpang angkutan umum atau pengemudi mobil mewah memberikan mereka seribu dua ribu rupiah. Lagi-lagi aku tersadar, mentoring akan mencetak generasi-generasi hebat yang beberapa tahun kedepan akan menjadi para pemimpin, pemimpin negara ini. Kelak aku tidak akan lagi melihat pengamen-pengamen kecil itu karena pemimpin beberapa tahun ke depan, pemimpin-pemimpin cetakan mentoring adalah pemimpin yang amanah yang akan membawa negara ini berjalan dalam kesejahteraan dan keberkahan.
------- selesai --------


Oleh: Nisa Batubara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kisah Inspiratif Andre Doloksaribu Mendirikan Rumah Belajar Untuk Anak Pinggiran Sungai

Oleh : saturnusapublisher Gardamedia.org (24/05/2023)    - Masyarakat pinggiran sungai sering kali terlupakan keberadaannya, apalagi biasany...