![]() |
Sumber: legatiaabogados.com |
Tangan
kanan ini masih kubiarkan mencoret-coret selembar kertas kosong yang masih
terikat dalam sebuah binder. Bentuk coretannya absurd, tidak jelas. Bahkan genggamanku terhadap pena itu terasa
berbeda kali ini, tidak seperti biasanya. Ada penekanan yang luar biasa dari
setiap pola yang diciptakan oleh gerakan tanganku yang menari-nari di atas
kertas tersebut. Kalau boleh, kertas itu akan robek seketika.
Aku
masih tertunduk, hening dalam segala emosi yang tertahan. Gumpalan air bening
sudah menumpuk di pelupuk mata. Aku berusaha tidak mendengar beliau, tidak
mendengar kata-kata dari saudara seiman yang begitu menyakitkan itu. Tapi ia
terus saja berkata, mengatakan wanita-wanita bercadar adalah orang-orang
munafik, mereka bebas menikmati keindahan orang lain dari sepasang matanya,
tapi keindahan wajahnya tidak boleh dinikmati orang lain. Aku begitu kesal
mendengarnya. Meski aku tidak mengenakan cadar, tapi aku pikir tidak pantas
mengatakan hal seperti itu tanpa didasari ilmu. Lalu, beliau berkata lagi
jangan terlalu fanatik terhadap agama. Fanatik?
Aku betul-betul tidak habis pikir atas apa yang beliau simpulkan sendiri
terhadap agamanya. Tapi, aku tidak melihat reaksi apa pun dari teman-temanku
yang lain.
“Apa
mereka berpikir sama denganku? Memilih untuk menyabarkan hati dan tak dapat berbuat
apa-apa untuk mengatakan yang sebenarnya? Atau kata-kata beliau tadi telah
diiyakan oleh pikiran mahasiswa-mahasiswanya yang sekarang merasa dibenarkan
atas kelakuan, tindakan dan sikap mereka untuk tidak dekat-dekat dengan
agamanya sendiri?”
Wallahu
a’lam.
Coretanku
seketika berhenti saat ia mengakhiri kuliahnya. Aku menghela napas. Memasukkan
barang-barang dan bergegas keluar kelas. Langit diluar begitu gelap, pertanda
hujan akan turun. Mendung yang mengisyaratkan suasana hatiku sekarang. Aku dan
teman-temanku berjalan cepat, takut kehujanan. Tapi, pikiranku masih
berkecamuk. Aku menjadi pendiam sepanjang perjalanan, tidak seperti biasanya.
Aku
tahu aku bukanlah orang yang betul-betul paham tentang agama. Aku tidak
terlahir dari keluarga yang religius.
Pendidikan yang ku enyam
sejak SD hingga SMA pun berlatar belakang sekolah umum. Tidak ada pendidikan
agama yang kuterima sebelumnya, hanya pelajaran agama islam di sekolah seminggu
sekali. Tapi, sampai sekarang aku masih terus belajar.
” Lantas apakah hanya dengan kata-kata tersebut, iman ini bisa goyah?”.
Aku
teringat perjalanan yang telah kulalui sampai saat ini. Saat pertama kali aku
mengikuti mentoring yang diadakan di setiap fakultas seminggu sekali, saat aku
memutuskan berhijab dan mulai memahami bahwa menjadi seorang muslim bukan hanya
sekadar sholat dan puasa. Saat aku semakin bersemangat menjalani hari-hariku
karena aku semakin tahu tujuan hidup, meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Mentoring
telah mengubah diriku kearah lebih baik, mengubah cara berpikirku. Sebuah
pencerahan diatas kebodohan, ketidaktahuan dan kemaksiatan yang dulu hinggap di
diriku. Aku telah belajar mengisi setiap detik dan napasku dengan
sebaik-baiknya. Aku telah belajar bersikap dan menyikapi segala persoalan hidup
ini. Perkataan beliau tersebut hanya sebagian kecil tantangan yang diterima
oleh hamba-hamba yang memutuskan berhijrah.
“Bukankah
masih banyak lagi nada-nada yang lebih sinis yang menyudutkan kebenaran?
Menganggap sebelah mata orang-orang yang mencoba untuk selalu mendekatkan diri
pada Sang Khalik? Bukankah islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali
dalam keadaan asing pula?”.
Dan sekarang aku berada di masa itu. Ketika
semua terasa asing. Ketika orang-orang menertawakan kebenaran dan menganggap wajar
kemaksiatan.
Sekali
lagi aku belajar, hijrahku bukan hanya sekadar tampilan fisik, tapi ruh ini,
pikiran, hati seharusnya menyatu untuk berusaha selalu menjadi hamba yang taat.
Perlahan senyumku mengembang. Segala kekesalan menguap. Aku sudah punya jawaban
atas segala kegundahan ini. Hijrahku di mentoring seharusnya membuatku menjadi
bijaksana dalam bertindak dan bersikap. Dan kini aku seperti itu, menyikapinya
dengan bijaksana. Beliau hanya manusia yang berada dalam ketidaktahuan, sama
sepertiku dulu. Aku hanya dapat berdoa agar Allah segera menyingkirkan
pikiran-pikiran salah tersebut dalam dirinya dan agar kelak ia bertobat dan
berhijrah.
Di persimpangan lampu merah tidak jauh dari tempat
aku dan teman-temanku menunggu angkutan umum, aku melihat seorang anak kecil
bernyanyi dengan diiringi
ukulele seraya mengharap para penumpang angkutan umum atau pengemudi mobil
mewah memberikan mereka seribu dua ribu rupiah. Lagi-lagi aku tersadar,
mentoring akan mencetak generasi-generasi hebat yang beberapa tahun kedepan
akan menjadi para pemimpin, pemimpin negara ini. Kelak aku tidak akan lagi
melihat pengamen-pengamen kecil itu karena pemimpin beberapa tahun ke depan,
pemimpin-pemimpin cetakan mentoring adalah pemimpin yang amanah yang akan membawa
negara ini berjalan dalam kesejahteraan dan keberkahan.
------- selesai --------
Oleh:
Nisa Batubara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar