![]() | ||
Sumber: Google.com |
Pengamen itu masih meniup harmonika
dan memetik ukelelenya. Disela-sela suara yang masih bisa ditangkap oleh
kedua telinga yang disumbat sepasang handsfree, gadis itu masih bisa
mendengar suara alunan musik yang ia enggan mengatakannya merdu. Meski ia sendiri
tidak begitu paham tentang kedua alat musik itu. Apakah si pemuda itu telah memainkannya
dengan benar atau tidak? Atau apakah irama yang keluar memang irama yang pas?
Atau, terlalu banyak keraguan. Yang akhirnya membuat ia segera sadar ia memang
tidak tahu apapun tentang musik kecuali menikmatinya.
Gadis itu membuang pandangannya
kearah jendela, menyebabkan sedikit rasa kram di leher karena harus berputar
beberapa derajat. Ia tidak mau melihat pengamen yang berdiri didepan pintu itu.
Dari jendela ia juga tidak dapat melihat lampu lalu lintas yang ia harap segera
berubah warna menjadi kuning lalu hijau. Di pikirannya sedang bergulat. Bahkan
suara musik di handsfreenya seperti
tidak terdengar jelas lagi. Suara musik dari pengamen tersebut pun tidak
menarik perhatiannya. Ia mengabaikan semuanya dan hanya berfokus pada
pikirannya.
Iya atau tidak. Pengamen itu mulai
mengeluarkan suaranya dan sudahlah ia tidak mau berkata apa-apa lagi. Jelas
sudah suara pemuda itu cempreng, tidak merdu dan terkesan false. Sementara ia ragu apakah ia akan segera membuka tasnya lalu
membuka dompetnya dan mengeluarkan selembar uang kertas bergambar Pangeran
Antasari. Ia tahu ia sama sekali tidak keberatan akan itu. Hanya seberapa. Tidak
akan mengurangi. Allah akan melancarkan rezeki orang-orang yang senang berbagi.
Pengamen itu juga tidak rapi seperti
pengamen-pengamen di persimpangan lampu merah sebelumnya. Di persimpangan lampu
merah sebelumnya, gadis itu akan melihat pemuda-pemuda mungkin berusia 20-an
dengan celana jeans panjang dan kemeja yang lengannya digulung memetik gitar
sambil bernyanyi. Tidak terkesan asal-asalan. Gadis itu dengan senang hati akan
mengeluarkan selembar uang kertas. Tanpa ragu ia meyakini bahwa uang yang diberinya
akan dipergunakan di jalan yang baik. Orang-orang sudah pada tahu bahwa
pengamen-pengamen itu ialah mahasiswa, mungkin mahasiswa jurusan musik yang berkuliah
di kampus yang tak jauh berada dari persimpangan itu. Kegiatan mengamen bisa jadi
untuk mengasah kemampuan mereka bermusik atau murni menambah pemasukan sebagai
anak rantau.
Gadis itu memandang sekilas pengamen
yang masih sibuk bernyanyi itu, lalu menatap kaca jendela didepannya.
Tatapannya kosong dan atmosfer acuh yang sengaja dibuat. Penumpang yang lain
sibuk dengan ponselnya dan ada juga yang sibuk dengan pikirannya. Tak ada yang
menjual dari pengamen itu. Lantas mengapa ia harus memberinya uang sementara
tidak ada yang bisa dinikmati darinya?
Tidak. Sekali lagi tidak seperti
itu. Tapi pengamen dengan tato di lengannya itu dan pakaiannya yang tidak rapi membuat ia harus berpikir dua
kali sebelum memberi. Pengamen-pengamen yang terlihat seperti anak funk biasanya menghabiskan uang hasil
mengamennya untuk membeli lem, rokok, berjudi bahkan narkoba. Gadis itu bahkan
pernah melihat sendiri salah seorang diantara mereka sedang ngelem di salah satu toko yang sudah
tidak dipakai lagi. Sudah tidak ada rasa malu.
Gadis itu bergeming. Tapi mereka
butuh makan kan? Jiwanya terpanggil. Apa salahnya memberi segitu. Apalagi
ketika dia mengingat pernah seorang pengamen mengumpat kesal setelah berlalu
dari sebuah angkot yang berada di samping angkot yang gadis itu sedang naiki.
Ia mendengar jelas. “Masih mending kami ngamen daripada kami jambret, mencuri, merampok.
Itupun kalian masih pelit-pelit. Ntar kami jadi kayak gitu baru rasa kalian.”
Ujar pemuda bertindik di hidung itu dengan kesal.
Tapi bukannya mengonsumsi
obat-obatan terlarang bisa menghilangkan nafsu makan? Ah, entahlah. Prinsip
gadis itu berkata rasa empati tidak boleh menutupi kebenaran. Jika ia memberi
uang, mereka akan berpikir tetap di zona mereka ini. Tidak ada lagi cita-cita
ke depan. Tidak ada perubahaan. Kalau sudah begini ia benar-benar merindukan
pemuda-pemuda di jaman penjajahan dan seterusnya. Meski ia tidak merasakannya
langsung tapi ia sudah kagum ketika membacanya di buku sejarah dan pkn.
Bagaimana pemuda-pemuda di masa itu memiliki andil dalam keberhasilan memperebutkan
kemerdekaan Indonesia atau saat pergantian era pemerintahan. Kecerdasan, keberanian
dan nasionalisme mereka menyentuh hati gadis itu.
Pengamen itu mulai menyodorkan
bungkusan kosong dan seorang ibu paruh baya meletakkan seribu rupiah
didalamnya. Sementara gadis itu tidak bergeming sama sekali. Kemudian pengamen
itu berlalu. “Maaf, maaf bukan seperti itu. Aku hanya ingin Indonesia lebih
baik.” Batin gadis itu.
Gadis itu datang tepat waktu sesaat sebelum
barang-barang dinaikkan diatas mobil pick up yang disewa. Tidak terlalu banyak
hanya barang-barang pelengkap seperti perlengkapan ibadah, meja-meja terbuat
dari kayu, papan tulis, perlengkapan mandi dan perlengkapan masak. Kemarin
separuh sudah dibawa dan ini hanya sisanya saja.
Ia segera melangkah menuju ruang
sekretariat, menaruh tas selempangnya.
“Sudah
semua pak ketua?” Tanya gadis itu kemudian.
“Sudah ibu sekretaris” Gadis itu
mengacungkan jempol dan pemuda itu berlalu.
Angin bertiup kencang. Sore ini
begitu syahdu. Dingin. Terik panas kota berubah seketika. Udara pedesaan
terasa. Detik berganti menit, menit berganti jam. Tak terasa senja akan mulai
menyapa. Tapi gadis itu masih melihat mata-mata antusias mereka dan tawa yang
sesekali terdengar. Syukur semua sudah beres. Warna langit telah berubah. Ia
duduk di teras, menapakkan kedua kakinya ketanah. Tak jauh darinya tertancap
plang nama “SENJA” yang semua orang akan dengan mudah melihatnya . Itu hanyalah
sebuah rumah. Tidak besar tapi cukup untuk menampung anak-anak jalanan dengan halaman
yang begitu luas sehingga mereka bisa beraktifitas sebebas mereka. Didalam,
beberapa teman sekaligus rekan gadis itu dalam organisasi itu sedang bercengkrama
dengan anak-anak tersebut. Nantinya mereka akan bergantian memberikan pelajaran
dan pendidikan kepada anak-anak tersebut. Dan di tempat ini mereka tidak perlu
takut kelaparan, kepanasan dan kedinginan lagi. Inilah rumah mereka. Pendidikan
karakter yang akan mengikat mereka menjadi insan yang lebih baik. Senja dengan
kepanjangan “Sekolah Anak Jalanan”, sebuah pengharapan bahwa mereka selamanya
tidak akan lagi berkeliaran di jalanan. Generasi penerus bangsa seharusnya
tidak berada disana. Mereka yang akan memimpin bangsa ini. Gadis itu begitu
lega akhirnya mereka, pengurus organisasi mampu menjalankan program untuk
masyarakat ini. Meskipun, ia tahu ini masih awal dan berbagai rintangan masih
dalam antrian untuk menghampiri.
Oleh: Nisa Batu Bara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar