![]() |
Sumber : http://www.philipchircop.com/page/190 https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/ |
Ingat bagaimana kedudukan wanita pada masa pra islam? wanita
umumnya terbelenggu dalam tradisi tak manusiawi. Wanita dipandang sebagai makhluk
yang lemah. Terjadi deskriminasi,
penindasan dan wanita dijadikan sebagai harta warisan. Ajaran islam memberikan
perhatian yang sangat besar, serta kedudukan yang terhormat bagi wanita.
Perjuangan Nabi Muhammad berhasil melepaskan belenggu kenistaan tersebut. Nabi
Muhammad mampu mengubah posisi wanita yang pada masa pra islam, wanita adalah sebagai
barang yang diwariskan, setelah datangnya islam berubah menjadi, wanita adalah
pihak yang memperoleh hak waris. Begitulah islam memuliakan wanita.
Namun dewasa ini, banyak faktor yang mengaburkan kemuliaan
tersebut. Salah satu diantaranya adalah kedangkalan pengetahuan. Terkadang
wanita tidak begitu antusias untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Karena
kebanyakan dari kaum wanita, telah terdoktrin dalam benaknya, bahwa setinggi
apapun pendidikan seorang wanita pada akhirnya ia tetap menjadi ibu rumah
tangga yang tempatnya hanya di dapur, kasur dan sumur. Pandangan ini yang pada
akhirnya mengantarkan wanita kepada pandangan yang negatif. Padahal bila
difikir lebih dalam, wanita adalah pemegang tugas yang mulia. Dari Rahim-rahim
wanitalah akan lahir generasi-generasi yang bismillahi ma syaa Allah.
Sebagaimana seorang penyair pernah berkata ”Wanita (ibu) adalah madrasah
pertama. Bila kamu mempersiapkannya, maka kamu telah mempersiapkan bangsa yang
mulia.”
Apakah salah wanita dengan pendidikan tinggi pada akhirnya memilih
untuk menjadi ibu rumah tangga ? menurut saya, tidak. Namun, kebanyakan
masyarakat awam menganggap bahwa, pendidikan tinggi identik dengan karir.
Padahal menuntut ilmu adalah salah satu cara untuk menunjang tugas-tugas besar
dimasa depan. Bukan sekedar demi profesi, tapi untuk menjadi wanita yang
menginspirasi. Dimana dalam diamnya dia menebar fikir dan dalam geraknya dia
memotivasi orang lain. Dalam sedihnya dia menggugah dan dalam marahnya dia
mengintropeksi. Tidak hanya mencetak generasi, tetapi juga mencetak hebatnya
generasi.
Wanita memang terkenal dengan kelembutannya, tetapi bukan berarti
ia harus melemahkan dirinya. Dia juga harus menjadi seorang yang mandiri, terus menggali dan
mengembangkan potensi. Wanita yang hebat
adalah wanita yang mampu memajukan dirinya di garda terdepan dalam
dakwah, namun tetap dalam batasan syar’i. saya yakin, wanita mampu membawa
sejuta kebaikan, baik di keluarga, masyarakat, Negara bahkan dunia.
Dalam sejarah, kita mengenal dua Umar yang kepemimpinannya tidak
diragukan. Yaitu Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul ‘aziz. Dibalik sosok
mereka, ada seorang wanita yang luar biasa. Suatu hari, umar menghabiskan
malamnya dengan jalan-jalan ke perkampungan yang ia pimpin. Di suatu rumah, ia
mendengar percakapan antara seorang gadis dan ibunya. Sang ibu hendak mencampur
susu ternak yang akan mereka jual dengan air, karena susu yang tersedia malam
itu tidak mencukupi pesanan yang akan dijual esok. Gadis itu menjawab: "Wahai
ibuku, tidak kah engkau mengetahui apa yang telah di tekankan oleh
Amirulmu’minin?” Sang ibu ngotot kepada putrinya, “Anakku, tenang saja, tidak
ada satu pun orang yang tahu kalau kita mencampur susu ini dengan air. Termasuk
Umar bin Khattab.” Tetapi anak gadis itu terus melarang ibunya, “Bu, tetap saja
ada yang tahu ketidak jujuran ini. Yaitu Allah, Allah maha melihat apa yang
dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.”
Secara tidak sengaja, umar bin khattab mendengar percakapan tersebut. Pagi harinya, Umar bin khattab berkata kepada putranya, Ashim, “Pergilah kesana, sesungguhnya disana terdapat seorang gadis. Jika Ia tidak keberatan, nikahilah ia. Tepat sekali pilihan umar. Hingga akhirnya Ashim menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan itulah lahir seorang anak yang kemudian dikenal dengan Ummu Ashim. Ummu Ashim ini setelah dewasa lantas dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan yang kemudian memiliki anak, yang bernama Umar bin Abdul ‘Aziz. Sang pemimpin yang adil.
Secara tidak sengaja, umar bin khattab mendengar percakapan tersebut. Pagi harinya, Umar bin khattab berkata kepada putranya, Ashim, “Pergilah kesana, sesungguhnya disana terdapat seorang gadis. Jika Ia tidak keberatan, nikahilah ia. Tepat sekali pilihan umar. Hingga akhirnya Ashim menikahi gadis tersebut. Dari pernikahan itulah lahir seorang anak yang kemudian dikenal dengan Ummu Ashim. Ummu Ashim ini setelah dewasa lantas dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan yang kemudian memiliki anak, yang bernama Umar bin Abdul ‘Aziz. Sang pemimpin yang adil.
Masih adakah
keraguan dalam jiwa bahwa islam sangat memuliakan kaum wanita? Meskipun begitu,
wanita tetaplah manusia biasa yang tak luput dari dosa. Insan yang berusaha
memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi
orang-orang di sekelilingnya. Karena wanitalah yang diharapkan sebagai penumbuh
benih harapan akan majunya peradaban yang semakin beradab. Dari wanitalah, yang
in syaa Allah kelak akan hadir generasi hebat. Maka harapannya adalah, tulisan
ini bukan hanya angan kosong yang melangit, tetapi menjadi kenyataan yang
membumi.
Penulis : Nurhanisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar