![]() |
Ilustrasi : Internet |
Pertama sekali para
sejarahwan memperlihatkan bahwa zaman dahulu kala ada orang yang khusus
melakukan pekerjaan sebagai perantara dalam hal melaksanakan komunikasi antar
manusia. Williem Haversmit (1885: 3) melalui bukunya, De Courant, mengingatkan kita pada orang-orang Babylonia di mana
menurut catatan Flavius Josephus, mereka telah memiliki para penulis sejarah
yang bertugas menyusun cerita tentang kejadian sehari-hari dan kemudian
menyiarkannya kepada orang lain.
Jauh sebelum itu,
Al-Qur’an telah mengisahkan tentang manusia pertama yang bertugas sebagai
perantara informasi kepada sesamanya (QS. Nuh: 25, Hud: 37-45). Sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan banjir
yang sangat hebat kepada kaum kafir, maka datanglah malaikat utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Nabi Nuh agar
ia memberitahukan cara membuat kapal sampai selesai. Kapal itu cukup untuk
dipergunakan sebagai alat evakuasi oleh Nabi Nuh beserta sanak keluarganya yang
saleh dan segala macam hewan masing-masing satu pasang.
Tidak lama kemudian,
seusainya Nuh membuat kapal, hujan lebat pun turun berhari-hari tiada hentinya.
Demikian pula angin dan badai tiada ketinggalan, menghancurkan segala apa yang
ada di dunia kecuali kapal Nabi Nuh. Dunia pun dengan cepat menjadi lautan yang
sangat luas. Saat itu Nuh dengan orang-orang yang yang beriman serta hewannya
itu telah naik ke dalam kapal, dan berlayar dengan selamat di atas gelombang
lautan banjir yang sangat dahsyat itu.
Hari larut berganti
malam, minggu pertama disusul minggu kedua, dan selanjutnya hingga menjelang
hari yang keempatpuluh. Namun air tetap
masih menggenang dalam, seakan-akan tidak berubah sejak semula. Sementara itu,
Nuh beserta isi kapalnya mulai khawatir dan gelisah karena persediaan makanaann
mulai menipis. Masing-masing penumpang kapal pun mulai bertanya-tanya, apakah
air bah itu memang tidak berubah atau bagaimana? Hanya kepastian tentang hal
itu saja rupanya yang bisa menentramkan kerisauan hati mereka. Dengan
mengetahui situasi dan kondisinya itu mereka mengharapkan dapat memperoleh
landasan berpikir untuk melakukan tindak lanjut dalam menghadapi penderitaanya
itu, terutama dalam melakukan penghematan yang lebih cermat.
Guna memenuhi keperluan
atau keinginan para penumpang kapalnya itu Nuh mengutus seekor burung dara ke
luar kapal untuk meneliti keadaan air dan kemungkinan adanya makanan. Setelah
beberapa lama burung itu terbang mengamati keadaan air, dan kian kemari mencari
makanan, tetapi sia-sia belaka. Burung dara itu hanya melihat daun dan ranting
pohon zaitun (olijf) yang tampak muncul ke permukaan air. Ranting itu pun
dipatuknya dan dibawanya pulang ke kapal. Atas datangnya kembali burung itu
dengan membawa ranting zaitun tadi, Nuh dapat mengambil kesimpulan bahwa air
bah sudah mulai surut, namun seluruh permukaan bumi masih tertutup air, seingga
burung dara itu pun tidak menemukan tempat untuk istirahat. Demikianlah kabar
dan berita itu disampaikan kepada seluruh anggota penumpangnya.
Atas dasar fakta
tersebut, para ahli sejarah menamakan Nabi Nuh sebagai seorang pencari dan penyiar
kabar (wartawan) yang pertama di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik
dan caranya mencari serta menyiarkan kabar (warta berita di zaman sekarang
dengan lembaga kantor beritanya) itu, mereka menunjukkan bahwa sesengguhnya kantor berita yang pertama di dunia itu
adalah kapal Nuh.
Sumber :Buku Pengantar Jurnalistik
: Kustadi Suhandang
Penulis : Muhammad Aji Nst
Tidak ada komentar:
Posting Komentar