Gardamedia.org - Perspektif humanistik dalam Psikologi Perkembangan mengatakan, bahwa individu pada dasarnya memiliki potensi positif dan mampu mengendalikan hidupnya. Menurut pendekatan ini, hidup seseorang selalu diarahkan untuk mencapai tujuan terbaik dalam hidupnya, yaitu mengaktualisasikan diri.
Pertanyaannya adalah, apakah tujuan terbaik dalam hidup seorang manusia hanya pegaktualisasian diri, tanpa mengetahui aktualisasi tersebut ditujukan untuk siapa? Hanya ada dua pilihan, Kalau bukan manusia pasti Tuhan. Kalau bukan dunia pasti akhirat.
Ketika berbicara aktualisasi diri seorang muslim, maka yang harus kita cari adalah perhatian Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan perhatian manusia. Karena orang-orang yang selalu mencari perhatian Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan orang-orang yang mendapat jaminan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Meskipun terkadang kita melihat hidup mereka susah. Namun sebenarnya mereka bahagia, sebab Allah bersama mereka.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mencari perhatian manusia dalam proses pengaktualisasian dirinya. Kebahagiaan dunia mungkin akan di dapatnya, namun semua itu tidak ada apa-apanya di hadapan Allah Azza Wa Jalla. Kita bisa mengambil contoh seseorang yang memandang dirinya mampu menjadi penulis yang hebat. Menurutnya menjadi seorang penulis merupakan suatu hal yang membahagiakan dalam hidupnya. Sebab selain mendapatkan uang, menulis juga akan membuatnya dikenal semua orang. Ada ego satisfaction tersendiri yang dirasakannya, ketika menulis lalu dinikmati oleh orang banyak.
Kondisi tersebut akan membuatnya mengarahkan semua perilakunya untuk meraih harapannya menjadi tersebut. Misalnya membiasakan diri menulis setiap hari, memasuki komunitas penulis, membangun blog, mengirim tulisan ke media massa, menyukai bacaan yang berhubungan dengan motivasi menulis, berkumpul dengan teman-teman penulis dan mengikutsertakan diri setiap kali ada lomba kepenulisan. Apapun yang dilakukannya selalu dengan pertimbangan, apakah sesuai dengan hobinya tersebut.
Secara kasat mata, tak ada yang salah dengan apa yang dilakukan seseorang pada contoh di atas. Ia berbuat dan berusaha sesuai dengan potensi yang dimilikinya tanpa merugikan orang lain. Bahkan apa yang dilakukannya tersebut merupakan sebuah prestasi yang tidak semua orang mampu melakukannya. Pun dengan usahanya tersebut merupakan salah satu langkah konkrit dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan bertambahnya wawasan orang yang membaca tulisannya.
Yang menjadi problem adalah, apakah aktualisasi diri yang dilakunnya itu, sudah sesuai dengan apa yang Allah mau? Timbul pertanyaan selanjutnya. Emang apa yang Allah mau? Yang Allah mau sebenarnya tidak banyak, hanya bagaimana supaya kita mengabdi kepada-Nya saja. Sementara si Fulan pada contoh diatas mencoba mengaktualisasikan dirinya bukan dalam rangka mengabdi atau mencari perhatian Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ia hanya berpikir bagaimana supaya menjadi penulis hebat yang bisa dikenal dunia. Dalam artian ia hanya mencari perhatian manusia. Pengabdiannya bukan untuk Allah, melainkan untuk manusia.
”Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Az-Zariyat: 56)
Menurut Albert Ellis & Aaron Beck: Yang menentukan kondisi emosi kita bukan semata-mata peristiwa yang kita alami, namun cara kita memaknai peristiwa tersebut. Orang-orang yang mencari perhatian Allah Subhanahu Wa Ta’ala punya cara tersendiri untuk memaknai peristiwa yang mereka alami, yakni dengan melibatkan Sang Pembuat peristiwa tersebut. Sehingga mereka tidak pernah merasakan galau yang berkepanjangan ketika ditimpa musibah. Sebagaimana sebaik-baik contoh adalah para nabi, para Siddiqin, para syuhada dan orang-orang saleh adalah orang-orang yang selalu ditimpa kesusahan dan kemalangan. Dengan habisnya harta kekayaan, pangkat, jabatan serta ancaman kematian yang selalu menghantui mereka demi dakwah dijalan Allah. Kita memandang hidup mereka susah, padahal mereka bahagia. Sebab Allah selalu dijadikan tujuannya. Mereka selalu bersikap zuhud terhadap dunianya, sehingga harta dan jiwanya telah dijual kepada Allah Azza Wa Jalla untuk meraih surga-Nya.
Adapun orang yang mengaktualisasikan dirinya hanya untuk mencari pengakuan manusia, perumpamaannya seperti meminum air dingin saat kepedasan. Rasa pedas hanya akan hilang ketika air tersebut masih berada di bibirnya. Namun ketika sudah mengalir ke dalam kerongkongan, rasa pedas tersebut akan kambuh lagi seperti semula. Bahkan lebih parah dari sebelumnya.
Artinya apa? Seseorang itu hanya akan mengaktualisasi dirinya ketika mendapat pengakuan dari manusia seperti sahabat, keluarga, orang terdekat atau masyarakat luas. Ketika pengakuan itu berhenti ia peroleh, maka otomatis aktualisasi dirinya juga ikut terhenti. Sebab pemikirannya terlalu sempit dengan mencari perhatian makhluk, bukan mencari perhatian Pencipta makhluk tersebut.
Penulis : Muhammad Aji Nasution, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip USU stambuk 2013. Penulis juga masih menjabat sebagai Manajer Wartawan Dakwah Kampus Gardamedia USU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar