![]() |
Gambar : Internet |
Kepalaku agak pusing setelah membaca artikel dari situs itu. Bukan karena artikelnya yang tidak kusuka, tidak bagus, atau apalah; tapi artikel itu menasihatiku dan aku terlalu taat untuk mengingkarinya.
Sudah sekian lama kampusku ini seperti kacang goreng. Maksudku, aku merasa kehilangan jati diri berada di sini, jadi kacang goreng yang dimasak dengan api kecil, atau sebut saja lilin. Tidak masak, lempam, aku juga jadi malu sendiri.
Dosenku keluar cepat hari ini. Aku menikmati senja itu bersama suasana--kalau aku menyebutnya, kacau--yang luar biasa. Muda-mudi senggol-senggolan mencecap mimik masing-masing, anak-anak SMA menumpang untuk pacaran di taman kampusku, beberapa memilih foto-foto, sementara yang lain bercerita tak jelas--dan aku masih mencoba menghilangkan pusing karena membaca artikel.
Di belakangku Biro Akademik. Beberapa orang berpakaian rapi pulang dari sana. Beda jauh dengan seorang di seberang sana yang mengisap rokoknya sampai pipinya kempot dan mata terpejam, menghayati setiap nikotin yang dia isap sampai api mendekati garis warna kuning emas rokoknya. Dia mengancungkan rokoknya dan aku menggelengkan kepala.
"Kau mau berapa bagian?" tanya seorang lelaki mengenakan kemeja kotak-kotak lengan pendek biru langit dan celana hitam.
"Harus besar."
Aku samar-samar mendengar percakapan dua orang yang berjalan samping-sampingan menuju mobil yang terparkir di samping gedung Biro Akademik. Aku sedang membayangkan anak-anak yang menunggu salam tempel dari orangtuanya, atau mungkin bocah kecil yang mengharapkan hadiah natal Santa yang diterimanya ketika salju turun. Mereka ingin hadiah besar. Kurasa hadiah itu tak akan muat jika disembunyikan di bawah peci atau kaus kaki di pohon natal. Hadiah itu besar!
Sebesar apa hadiah yang akan mereka terima, aku penasaran. Tapi aku yakin, mendapatkannya tak akan sesulit mendapatkan tanda tangan Dosen Pembimbing yang harus sering-sering kutemui selama menyelesaikan skripsi. Mereka bisa saja mendapatkannya seperti bocah minta jajan pada ayahnya. Terlalu asyik hidup mereka, hah!
Sementara itu, beberapa minggu lalu beberapa teman seperjuangan wisuda. Aku juga ingin, tapi mungkin belum saatnya. Yang jadi pembicaraan seru dua hari lalu, katanya ijazah yang mereka terima bermasalah. Aku tak terlalu mengerti, tapi yang jelas, aku mulai berpikir, keserakahan macam apa ini??
Anak-anak bermain bola dan tak sengaja menyepak bolanya ke arahku. Sial, aku semakin pusing! Mungkin tuak-tuak di lapak bisa menenangkanku. Tapi tidak juga, karena aku akan tetap memikirkan masalah itu.
Sekarang, aku mulai memikirkan hal-ihwal jika aku wisuda. Tali toga dipindahkan, kedua orangtuaku datang memberi tepuk tangan paling keras sampai semua orang akan melihat mereka, sampai di luar auditorium teman-teman merangkulku dan bertingkah sangat centil untuk mengajakku berfoto di setiap papan bunga--atau sebagai gantinya aku harus mengeluarkan uang untuk menyuapi mulut lapar mereka satu-satu di warung makan paling enak dan harus ada wifi--lalu kami pulang dan aku dapat gelar sarjana, cari kerja, menikah, punya anak, tua, lalu meninggal. Itu terlalu jauh!
Baik, sekarang mulailah memikirkan nasib para mahasiswa! Mungkin beberapa akan terlihat bodoh, seperti Bulldog yang selalu mengejar piring setiap dilempar dan datang kembali dengan mengantarkan piring itu lalu menjulurkan lidahnya agar Si Tuan melemparnya lagi untuk dia kejar dan antar lagi. Tapi sayangnya, sebagian terlalu pintar untuk ditipu. Dan mereka beruntung karena, mereka yang pintar seperti semut, terlalu kecil dan mudah dimatikan. Lagipula, mereka bergerak sendiri-sendiri. Kenapa tidak bersatu?
Aku pernah menonton serial anak di televisi. Seekor semut merasa begitu lemah untuk menghabisi mangsanya.
"Hei, kau tetap tak bisa melakukannya sendiri!" semut lain sudah mengingatkannya.
Yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak, bukan? Ribuan semut akan menyerang mangsa, jadi sumber tenaga yang sangat kuat yang mampu menjatuhkan mangsanya. Aku sempat ingin melempar televisiku dengan gelas kesayangan adikku, tapi ibuku memanggilku di dapur, "Nak, bisa tolong kau belikan bawang di warung sebelah." Lalu aku meletakkan gelas itu baik-baik dan membiarkan televisi di rumahku menyala sampai Ayah pulang kerja.
Kini aku ibarat seekor semut. Aku butuh teman-temanku untuk melawan mangsaku. Maksudku, mereka begitu besar dan aku akan mati hanya dengan dijilat. Aku butuh teman-temanku untuk menyuarakan keadilan di kampusku.
Sepertinya aku harus membeli racun tikus!
Sekali lagi, hantaman bola itu mengenai kepalaku. Aku sadar dari lamunan.
"Abang, tolong lemparkan bolanya ke mari!" kata salah seorang anak.
Sebenarnya--kalau aku kejam seperti dosen killer di kampusku--aku bisa saja mengempeskan bola dengan menggigitnya. Tapi aku bukan tikus!
Aku melemparkan bola itu pada mereka, bangkit dari posisi nyamanku, dan berdiri mencari di mana terakhir kali aku memarkir sepeda motorku.
Aku ingin beli racun tikus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar