![]() |
Gambar diambil dari www.darultahqiq.com |
Gardamedia.org - Imam Abu Hanifah , seorang ulama tersohor di masanya
karena ilmu, kesederhanaan
serta kejuhudan beliau. Saat
itu belum ada teknologi yang canggih, sehingga ulama besar itu pun hanya dikenal nama dan perilaku saja. Banyak
dari masyarakat
umum, kala itu tidak mengetahui rupa beliau yang
sesungguhnya. Begitulah
keadaan pemimpin di zaman terdahulu, mereka yang diberikan amanah besar tidak pernah
kemudian ingin show up (menunjukkan
diri), karena sesungguhnya kerja- kerja
yang mereka lakukan tiada tujuannya kecuali
agar tentram dan sejahtera
masyarakatnya lalu semuanya berujung kepada harapan ridha Allah.
Bermula
dari Imam Hanafi menjadi seorang
pemimpin di kaumnnya, sedang melakukan safar
dengan
jarak tempuh yang panjang ditambah
kendaraan yang tidak memumpuni mengakibatkan perjalanan tersebut memakan waktu
lama. Malam telah larut,
beliau memutuskan
untuk tidak meneruskan perjalananya
dan memilih masjid terdekat untuk segera melakukan mabit ( bermalam di masjid ). Di masjid , setelah melepas
penat perjalanan, dan berencana istirahat
sejenak, ada hal aneh terjadi.
Percakapan yang terjadi antara
beliau dan seorang lelaki penjaga masjid.
Hal
tersebut berawal dari
adanya marbot masjid yang datang menghampiri beliau, terjadilah percakapan diatara keduanya. Tanpa berkata banyak ,
imam hanafi sudah tahu dan paham apa maksud dari marbot tersebut, beliau
mengatakan agar cepat – cepat beranjak dari masjid tersebut, karena tidak
pernah ada orang sebelumnya yang
mengadakan mabit di masjid itu dan peraturan masjid juga tidak
membolehkan orang untuk tidur di masjid tersebut. Imam Abu Hanifahpun segera
berlalu dari masjid.
Seorang
imam besar dan ulama dimasanya diusir oleh seorang marbot masjid. Sekilas ini adalah kejadian yang mengucilkan seorang pemimpin, akantetapi ada pelajaran
dalam hal ini , Imam
Hanifah tidak mengatakan bahwa dia adalah seorang
ulama, identitasnya
sebagai seorang ulama dan pemimpin tidak menjadikannya orang yang sombong. dan
tentu tidak pula beliau mengatakan “apakah kamu tidak
mengenal saya adalah seorang ulama, seorang pemipin yang tersohor dan terkenal?”
tidak begitu.
Sedikit
ingin memberi pendapat mengenai cerita di atas sebelum kemudian saya melanjutkan
ceritanya nanti, saya ingin mengatakan bahwa jikalau kita hari ini bercermin
pada apa yang terjadi di atas , adalah sangat singkron sekali jika negara kita ini tidak mengalami
kemajuan yang signifikan , dalam beberapa berita saya dapatkan untuk memenuhi
kebutuhan pribadi atau boleh jadi itu keperluan keluarga, para pejabat sering
sekali mengggunakan jabatan yang ada,
dan ini kemudian yang tidak ada pada zaman dahulu. Di mana jabatan dianggap sebagai suatu amanah yang
sangat besar sehingga itu akan menjadikan diri kita sebagai satu hambanya
Allah.
Nah
, kita lanjutkan kemudian ceritanya ye..
Lantas
tanpa banyak berkata, sang Imam
Hanafi pun berangkat
meninggalkan masjid. Setelah
pamit dan meminta maaf atas ketidaksopanan tersebut ( seorang ulama, pemimpin
di zamannya mau meminta maaf kepada masyarakat sipil , adakah sekarang pemimpin
sepeti itu lagi?). Sesampainya diluar masjid,
seorang tukang roti kemudian menghampiri beliau dan berkata, “ sampean mau
kemana mas? malam – malam begini kok bawa barang yang banyak? “, Imam Hanafipun menjawab “ iya
mas , saya lagi nyari penginapan di malam ini , dimana yah kira – kira
penginpan dekat sini mas?, saya seorang musafir mas”. “Di sini
tidak ada penginapan mas, yang ada cuman beberapa saja, kalau mau ke rumah saya saja
mas,
tidak usah dibayar, tapi rumahnya juga seadanya mas, karena memang saya tinggal
sendirian di rumah
“ jawab sang tukang roti. Tanpa pikir panjang , Imam Hanafi
mengiyakan sekaligus
pulang bersama si penjual roti tadi.
Banyak
sekali hikmah yang kita dapat dari cerita para ulama dan salafus sholihin yang
terdahulu. Mereka
betul – betul orang yang terikat, artinya
yaitu
mereka menghambakan diri hanya
kepada Allah semata dan ini yang kemudian hilang dari permukaan baik di
hatinya para pemimpin maupun di
hati
para rakyat yang dipimpin.
Dalam
perjalanan pulang
nya tidak banyak cerita diantara mereka berdua. Mungkin karena mereka adalah dua orang yang baru kenal
beberapa jam yang lalu.
Sampai
di rumah, penjual roti kemudian
mempersilahkan Beliau
untuk tidur namun berbeda halnya bagi si penjaul roti karena dia harus mempersiapkan roti
untuk dijual besok hari demi
menghidupi kehidupan sehari – hari.
Dalam
tidurnya Imam Hanafi, ada kejadian
yang aneh terjadi pada malam
itu sehingga membuatnya terbangun,
ada suara berasal dari tempat penjual roti itu membuat roti, suara yang hampir
sama dalam detiknya dan itu membuat Imam
Abu Hanifah terbangun dari tidur. suara yang tidak
jelas ini mengundang rasa penasaran sang Imam,
sehingga membuatnya untuk mendekat ke arah sumber suara. Perlahan
dan penuh kehati- hatian didekatinya sumber suara itu hingga akhirnya dengan
jelas ia bisa menebak apa
sebenarnya suara itu.
Suara
itu tidak asing lagi baginya, tapi dia adalah seorang tukang roti, kenapa ia selalu
mengucapkan hal tersebut. Apakah
yang diucapkan si tukang roti? untuk kejelasannya , kita akan sambung di episode
yang kedua . .
Penulis :Rifai Muda Harahap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar