![]() |
Ilustrasi : Tim redaksi Garda Media |
Bismillahirrahmaanirrahim. Setelah disahkannya Lesbian, Gay, Bisexual,
& Transgender (LGBT) oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat atau The U.S. Supreme Court (26/6) perbedaan
pendapatpun terus menghangat. Perlu kita
cermati tidak semua masyarakat Amerika Serikat mendukung gerakan itu. Diantaranya
ialah para konservatif dari Partai Republik yang juga merupakan oposisi dari partai berkuasa yaitu Democrat.
Dari “mantan Senator Pennsylvania, Rick Santorum sempat mencela rekan-rekannya sesama Republik yang tidak menentang pernikahan sesama jenis seperti yang ia lakukan satu dekade lalu dalam Kongres. "Kita telah digertak dalam diam. Kita kalah karena kita tidak mencoba untuk menang," ujar Santorum pada Jumat (26/6).”
Kutipan yang
diambil dari situs CNN Indonesia (www.cnnindonesia.com)
pada pukul 22:30 ,(20/8) ini juga tidak perlu dibesar-besarkan. Amerika Serikat
bukan Negara pertama yang mengakui LGBT,
ia menempati Negara ke-21 yang mengakui LGBT. Mungkin julukan Amerika Serikat
sebagai The Arsenal Of Democracy
yang memicu terus dibesar-besarkannya hal ini.
Menurut
penulis negara-negara di dunia memiliki kekhasannya tersendiri dalam menerapkan
demokrasinya dan tidak dapat dipaksakan satu sama lain. Bila dipaksakan tentu
akan menciderai hakikat demokrasi itu sendiri. Pelaksanaan demokrasi harus
diikuti oleh bentuk negara hukum(RechtStaat)
dan tidak menjadi negara yang berdasarkan kekuasaan belaka (Macht Staat).
Indonesia
adalah negara hukum yang harus dibentuk oleh peraturan-peraturan yang berfungsi
melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang memiliki
Kepastian,kemanfaatan,dan keadilan. Pada dasarnya setiap Negara mempunyai “Staatsfundamentalnorm” nya
masing-masing, Indonesia menyebutnya “PANCASILA”. Bung Karno mengatakan pancasila sebagai The Founding Father-nya, digali dari rasa-rasa keadilan di bumi
Nusantara. Sila Pertama, “Ketuhanan yang
Maha Esa” artinya Indonesia adalah
Negara yang berTuhan bukan negara Atheis,tetapi Indonesia juga tidak dapat
disebut sebagai negara agama.Hal ini karena begitu pluralnya agama dan aliran
kepercayaannya di Indonesia. Setiap
warga negarapun bebas memeluk agama yang
ia suka selama agama itu diakui oleh negara. Mengapa Agama harus diakui oleh
Negara? Karena untuk mengakomodir kemaslahatan tiap-tiap umat beragama haruslah
dipenuhi keamanannya, tidak terjadinya
sengketa satu sama lain (jikalau pun ada itu oknum), pemasilitasan pembangunan
rumah-rumah ibadahnya,dan sebagainya. Ini merupakan perintah dari UUD 1945 Pasal 28 E ayat (1) yaitu setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah
menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
Indonesia
berstatus sebagai Negara Hukum, sudah sewajarnya pemerintah akan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan untuk
membuktikan bahwa dirinya adalah negara hukum. Akhir-akhir ini ada salah satu
peraturan yang menyedot perhatian masyarakat yaitu yang tertera di UU NO.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Hal ini menyangkut hak-hak hidup untuk menikah yang kini ada yang
mengargumentasikannya kolot,warisan nenek moyang sudah tidak relevan lagi, dan
seterusnya. Perlu digarisbawahi bahwa peraturan perundang-undangan dibuat oleh para Policy Maker dengan
mempertimbangkan segala aspek rasa-rasa keadilan yang di dalam masyarakat.
Dalam teori-teori perjanjian masyarakat (Contract Social Theory) Oleh Thomas
hobbes disebutkan bahwa masyarakat memberikan penguasaan kepada satu orang atau
pengurus guna mengurus segala kemasalahatannya. Jadi tindakan upaya Pemerintah
Republik Indonesia menghasilkan UU tersebut memang telah sesuai kebutuhan
masyarakatnya. Bisa kita analogikan, bus pariwisata tidak disediakan di lautan untuk
masyarakat kepulauan berhilir mudik? Tentu tidak akan bermanfaat bagi
masyarakat tersebut. Begitu juga UU NO.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sudah pada
maqamnya lah diambil dari adat isitiadat, dan agama masyarakat Indonesia. Jika
tidak diambil dari hal tersebut maka terciderailah rasa keadilan masyarakat. Akibatnya
tiadalah lagi Kemanfaatan hukum itu , dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Setelah diresmikannya UU NO.1 Tahun 1974, Negara diberikan hak untuk represif dalam
penegakkan hukum. Itu guna menciptakan adanya Social Legal Order.
Dalam peraturan
perundang-perundangan Republik Indonesia diatur, bahwa tidak sahnya perkawinan
beda agama, semata-mata hanya untuk memudahkan rakyat Indonesia dalam hubungan
kekeluargaannya. Jikalau negara hadir untuk menyusahkan, tentu hal ini sudah
menyimpang dari ajaran awalnya. Dalam perceraian yang rumit tentu anak-anak
akan menjadi korban. Depresi timbul, anak-anak tidak percaya diri, hal ini juga
pelanggaran bagi Hak Asasi Anak. Ketika seseorang memilih suatu pilihan, dia
harus siap menerima konsekuensi yang
akan terjadi. Analogi ini berlaku juga ketika seseorang memilih kepercayaan
maka dia harus mentaati segala Rule Of
the Game kepercayaannya dan menjalankannya 100 %. Apabila tidak, dia dapat
disebut sebagai orang yang tidak bertanggung jawab. Begitu juga dengan Islam, dalam perjanjian baku
atau take or leave it karena tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Sekalipun
begitu, ketika telah berIslam, maka harus mematuhi segala peraturan-peraturan yang
ada di Islam. Apabila tidak bersedia, dipersilahkan keluar.
Budaya masyarakat
Indonesia, pernikahan adalah sesuatu yang sakral bukan sekedar hubungan
Keperdataan belaka. Jikalau ada yang
mengatakan bahwa kebudayaan ini kolot, harus kita sadari kebudayaan ini telah
mampu bertahan ribuan tahun. Budaya ini juga masih melanjutkan regenerasinya
dengan tetap menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam.
Kebudayaan
Indonesia ini yang tertuang menjadi
Pancasila. Pada sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya kebudayaan
Indonesia mengakui dan mengaklamasikan bahwa leluhur bangsa Indonesia adalah orang
yang beragama. Kebudayaan Indonesia tidak mengenal adanya perkawinaan sejenis.
Mengapa? Karena pada hakikatnya manusia itu dikawinkan dengan lain jenisnya
agar dapat melanjutkan keturunan dan menyambung tongkat estafet kekhalifahan
Manusia species “Homo Sapiens”.
Gay dan lesbian
tidak dapat menghasilkan keturunan sehingga perlahan-lahan akan menyebabkan
kepunahan species manusia di bumi. Kita sebagai generasi penerus sangat
egoistis sekali apabila harus memaksakan gay dan lesbian diterima. Kita telah
menciderai hak-hak masyarakat masa depan yang terancam punah karena tidak
adanya lagi reproduksi. Dewasa ini, kita terlalu banyak menuntut hak tetapi sayangnya
dengan cara menciderai hak-hak orang lain. Apabila umat manusia nantinya
terancam punah maka kita akan sama seperti binatang langka. Ini seperti harimau Sumatra,orangutan,kakaktua jambul
kuning, apakah kita manusia mau disamakan dengan hewan yang juga terancam punah?
Permasalahan
bertambah pelik seiring dengan tuntutan kelompok yang ingin mengubah kelaminnya atau
Transgender. Padahal hanya dua kriteria orang yang dapat melakukan transformasi
kelamin yaitu (1) Kelaminnya tidak sempurna sejak lahir, (2) memiliki dua jenis
kelamin. Jika seseorang boleh sesuka hatinya bergonta-ganti kelamin, ia tidak
dapat bereproduksi lagi. Ini artinya kewajiban sebagai umat manusia untuk
bereproduksi telah ia langgar. Lagi-lagi ini menciderai hak masyarakat masa
depan untuk bertahan hidup.
Nenek moyang telah menunjukkan tata cara kehidupan yang
harmonis dengan alam dan tetap memenuhi
kemasalahatan Manusia. Menjamin eksistensi manusia species Homo Sapien di masa
depan. Apabila ada kata-kata yang mengatakan budaya Indonesia adalah kolot, yah
memang kolot tetapi karena kekolotannya itu ia mampu bertahan diterjang
badai,gunung meletus,tsunami,putting beliung selama berabad-abad lamanya.
Ditulis oleh Muhammad Zovi, mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara 2014. Tulisan banyak disarikan dari kuliah Dr.Mirza Nasution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar